KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan, sehingga kami dapat
menyelesaikan TUGAS ANTROPOLOGI ETNOGRAFI SENI BUDAYA DAN TRADISI DESA
JEPON, KECAMATAN JEPON. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada baginda Rasulullah beserta keluarga dan sahabatnya.
Tugas ini memuat tentang bagaimana kita mengenal seni
budaya dan tradisi Desa Jepon Kecamatan Jepon. Materi yang terdapat dalam Tugas
ini disusun dari berbagai sumber pustaka
dan kunjungan ke kantor Kelurahan Desa seperti yang terlihat pada daftar pustaka. Pada dasarnya
makalah ini digunakan sebagai bahan ajaran bagi mahasiswa.
Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam penyusunan,
kami menyadari bahwa dalam penyusunan Tugas ini masih banyak kekurangan atau
kesalahan didalamnya baik dari segi isi maupun bahasa. Semoga segala aktivitas
keseharian kita sebagai mahasiswa mendapat berkah dari Allah SWT dan semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita.
Blora, Desember 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Jepon
adalah salah satu Desa dan Kecamatan di Kabupaten Blora. Kecamatan Jepon
menjadi sebuah kecamatan yang berkembang dalam potensi sumber daya alam hingga
sekarang. Sejarah Jepon sangat panjang, dimulai dari masa kerajaan, penjajahan
Jepang hingga masa kemerdekaan.
Ada
berbagai seni budaya di daerah Jepon seperti Seni Barongan, Seni Tayub,
Kadrohan/Terbangan, Kethoprak dan Kerawitan.
Sedangkan tradisi yang ada di daerah
Jepon seperti sedekah bumi, melekan, kondangan, bodo kupat. Dengan mengetahui
sejarah asal usul, seni budaya dan tradisi Desa Jepon diharapkan generasi muda
lebih semangat untuk mencintai daerahnya sendiri dan melestarikan seni budaya
yang hampir saat ini banyak ditinggalkan.
2. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah penamaan Desa Jepon ?
2. Apa
saja seni budaya yang ada di Desa Jepon ?
3.
Apa saja tradisi yang ada di Desa
Jepon ?
3. Tujuan
1. Mengetahui
asal mula Desa Jepon.
2. Menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai sejarah Jepon di Kabupaten Blora.
3. Mengetahui
seni budaya dan tradisi yang ada di Jepon.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Desa Jepon
Desa
Jepon adalah salah satu Desa di Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa
Tengah, Indonesia. Desa ini sebagai ibu kota Kecamatan di Kecamatan Jepon.
Kecamatan Jepon terletak di sebelah timur Kecamatana Blora, dengan batas
sebelah Barat Kecamatan Blora dan Kecamatan Banjareja, sebelah Utara Kabupaten
Rembang, sebelah Timur Kecamatan Jiken dan sebelah Selatan Kecamatan
Kedungtuban dan Kecamatan Randublatung.
Luas
wilayah Kecamatan Jepon adalah 10.742,335 Ha dengan area sawah 545,600 ha,
pekarangan 1.179,430 ha, tegalan 2.183,648 ha, hutan 4.768,915 dan lain-lainya
94,790 ha. Kecamatan ini terkenal dengan daerah penghasil tanaman budi daya
cabai dan kerajinan dari kayu jati.
B. Asal Mula Penamaan Desa Jepon
Zaman
dahulu masa kerajaan Aryo Penangsang disebutkan bahwa Kabupaten Blora terbagi
menjadi dua, terdiri dari Blora dan Cepu dengan batasnya berada di Desa Palon
yang sekarang menjadi salah satu Desa di Kecamatan Jepon. Seiring dengan
berkembangnya kebutuhan penduduk akan tempat tinggal maka lambat laun Desa
Palon menyatu menjadi desa di Kecamatan Jepon.
Sehingga
Blora menjadi 16 Kecamatan dan Kecamatan Cepu menjadi satu dengan Kabupaten
Blora. Menurut Ibu Heri Puspowati selaku Kepala Kelurahan Jepon mengatakan
bahwa adanya Jepon sudah ada sebelum adanya zaman penjajahan Jepang, namun
pemberian nama “Jepon” diambil dari nama “Jepang Nipon” yang diberikan oleh
para penjajah Jepang. Jepang sudah lama berada di Jepon sehingga masyarakat
lebih suka menyebut daerah mereka dengan nama Jepon.
Sejak itu lah nama Jepon dijadikan
sebagai nama sebuah Kecamatan hingga sekarang. Adanya perkembangan tersebut
menjadikan Kecamatan Jepon menjadi sebuah kecamatan yang berkembang dalam
potensi sumber daya alam hingga sekarang. Keberadaan penjajah Jepang menberikan
dampak positif bagi sebagian besar daerah di Kecamtan Jepon.
Salah
satunya adalah Desa Semanggi yang memiliki potensi sumber minyak bumi dan gas
yang mulai digali saat penjajahan Jepang dimana saat itu ada ratusan sumur
minyak yang diolah. Sampai saat ini keberadaan sumur- sumur tua masih ada namun
hanya 6 sumur yang masih produktif, sedangkan sumur lainnya sudah tidak menghasilkan
minyak.
MAKAM MALING GENTIRI, Makam maling
Gentiri terletak di Desa Kawengan kecamatan Jepon + 12 Km kearah timur dari
kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Menurut buku karya Sartono Dirjo (tahun 1984) serta buku tradisional Blora
karya Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (tahun 1996) serta hasil dari cerita
rakyat, Gentiri adalah anak dari Kyai Ageng Pancuran yang pada saat hidupnya
mempunyai kesaktian tinggi (sakti mondroguo), suka menolong kepada orang yang
sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya.
Namun
dia suka mencuri (maling) bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain
yang sedang kesusahan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling
Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tingglakan dan
akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Karena
jasa-jasanya banyak masyarakat setempat atau dari daerah lain yang datang ke
makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah).
Desa
Jepon memiliki khazanah kesenian yang beragam. Berbagai kesenian tersebut dilestarikan
hingga kini. Selain menarik bagi para wisatawan lokal dan luar yang berkunjung
ke Desa Jepon, kesenian yang ada juga merupakan perwujudan dari tingginya
kreativitas masyarakat Jepon. Berikut ini lima kesenian khas Desa Jepon yang
saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat.
D. Seni Budaya di Desa Jepon
1. Seni Barongan
Seni
Barogan Jepon merupakan kesenian yang sangat populer di masyarakat. Pertunjukan
Barongan digelar pada agenda-agenda desa seperti sedekah bumi maupun agenda
keluarga seperti khitanan. Barongan dipertunjukkan dengan dua gaya, dengan
lakon (alur cerita) dan tanpa lakon (berupa pawai / arak-arakan).
2. Seni Tayub
Seni Tayub di Jepon sering digelar
dalam berbagai agenda di masyarakat. Lazimnya, pertunjukkan Tayub digelar pada
pesta pernikahan. Selain itu pertunjukkan Tayub juga kerap ditampilkan dalam
agenda tahunan desa seperti Sedekah Bumi. Untuk melestarikan kesenian asli
Blora ini, pemerintah daerah pernah mengagendakan mengikutsertakan penari Tayub
di ajang festival dan pagelaran pengiriman misi budaya daerah Kabupaten Blora
baik ditingkat desa sampai dengan di tingkat nasional bahkan sudah banyak
dikenal ditingkat internasional.
3. Kadrohan/Terbangan
Kadrohan
atau Seni Hadroh lahir di desa Jepon yang memiliki kultur santri yang kental.
Di Kecamatan Jepon kesenian Hadroh berkembang dengan pesat. Seni hadroh biasa
ditampilkan untuk mengisi acara-acara pengajian, khitanan dan perkawinan.
Secara garis besar, seni Hadroh terbagi
atas dua jenis, tradisional dan modern. Hadroh tradisional dimainkan tanpa
menggunakan alat musik melodis seperti Keyboard Piano dan Biola.
Ditengah-tengah pertunjukkan Hadroh, biasa dibacakan narasi Berjanjen atau
Manaqib Syeh Abdul Qodir Jailani.
4. Kethoprak
Pertunjukan
Kethoprak di Blora merupakan pertunjukan yang diminati oleh sebagian besar
masyarakat Blora, tua maupun muda. Beragam lakon ditampilkan dalam pertunjukan
ini. Di Blora terdapat belasan grup Kethoprak yang siap melayani berbagai
agenda. Desa Tempuran di Kecamatan Blora Kota dan Desa Jatirejo di
Kecamatan Jepon merupakan desa dengan banyak grup Kethoprak.
5. Karawitan
Karawitan
merupakan kesenian yang kerap ditampilkan dalam agenda pernikahan. Fungsi utama
dari seni Karawitan adalah untuk menghibur tamu pada pesta pernikahan dengan
iringan musik jawa. Seperangkat gamelan lengkap menjadi senjata utama
grup karawitan untuk menyemarakkan upacara pernikahan disertai dengan para
sinden (pengrawit) yang memiliki paras cantik dengan suara yang menyatu dengan
musik jawa.
D. Tradisi di Desa Jepon
1. Sedekah Bumi
Masyarakat Jawa memang terkenal dengan
beragam jenis tradisi atau budaya yang ada di dalamnya. Di Kecamatan Jepon ada
tradisi sedekah bumi yang biasa di sebut “Gas Deso” oleh masyarakatnya
merupakan suatu tradisi tahunan yang dilaksanakan setelah panen. Jadi antara
desa yang satu dengan lainnya tidak sama pelaksanaan sedekah buminya.
Tergantung pada kapan desa tersebut mengalami panen. Sedekah bumi atau gas deso
adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang
telah diberikan-Nya.
Sedekah
bumi atau gas deso biasanya disambut suka cita oleh masyarat. Mereka
merayakannya dengan membuat nasi tumpeng dan jajanan khas daerah seperti
dumbeg, pasung, tape, bugis dan lain sebagainya. Lalu nasi tumpeng dan jajanan
khas tersebut dibawa ke balai desa, sumur (sendang) yang telah disepakati oleh
seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara tersebut untuk didoakan
pemuka agama. Usai didoakan nasi tumpeng dan jajanan dimakan secara ramai-ramai
oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu.
Mungkin
tradisi sedekah bumi inilah yang terkadang dinantikan oleh anak-anak. Terutama
anak-anak remaja seperti anak-anak SMP, SMA. Sering kali anak-anak SMP dan SMA
membolos sekolah hanya karena ingin menghadiri acara tradisi sedekah bumi
tersebut, padahal di acara sedekah bumi atau gas deso ini hanya ada makanan dan
jajanan pasar yang sudah tidak asing bagi mereka dan hampir tiap hari mereka
temui. Mungkin bagi mereka tradisi sedekah bumi yang hanya satu tahun sekali
ini suatu hal yang sangat menyenangkan dan mengasyikkan karena dengan acara ini
mereka dapat berkumpul dengan teman-teman yang lain dan terkadang menemukan
teman baru.
Puncaknya
acara sedekah bumi diakhiri dengan pertunjukan kesenian daerah entah itu
barongan, wayang kulit, kethoprak atau tayub yang merupakan ciri khas kesenian
Blora yang kemudian dilanjutkan pembacaan doa oleh masyarakat dipimpin oleh
pemuka agama. Acara tersebut biasanya penyelenggaraannya di balai desa atau
sendang. Pertunjukan acara tersebut dilaksanakan 2 kali dalam sehari yaitu
siang hari dan malam hari.
2. Bodo Kupat
Perayaan
Bodo Kupat seminggu setelah lebaran fitri ini biasanya dilakukan penduduk Desa
Jepon. Konon yang pertama kali memperkenalkan budaya bodo kupat adalah para
sunan wali songo (wali sembilan), sebab mereka setelah berpuasa ramadhan selama
sebulan dan berbuka sehari pada Iedul Fithri (lebaran hari pertama), maka mulai
hari kedua lebaran sampai hari ketujuh biasanya menyambung puasa lagi selama 6
hari, yaitu puasa 6 hari syawal yang hukumnya sunah, baru kemudian sore hari
ketujuh dan hari kedelapan berbuka seperti hari-hari lainnya dalam setahun.
Kemudian
diantara wejangan dan nasehat wali-wali tersebut, bahwa barang siapa yang
berpuasa Ramadhan selama sebulan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari
pada bulan Syawal maka akan mendapatkan keselamat dunia akhirat, atau keselamatan
yang sempurna, atau dalam bahasa arabnya Salamatan Kaaffatan.
Kata bahasa arab inilah (salamatan
kaaffatan) yang ketika diadopsi oleh telinga orang jawa maka berubah
pengucapannya menjadi Selamatan Kupatan, sehingga nama lain dari bodo kupat
adalah selamatan kupat.
Sedangkan
kata bodo, asalnya yaitu dari bakda yang lengkapnya bakda syawal atau setelah
syawal, karena dirayakan seminggu setelah satu syawal. Kemudian kata bakda
syawal dan salamatan kaaffatan ini adaptasi menjadi bakda kaaffatan, kemudian
menjadi bakdo kupatan, kemudian menjadi bodo kupat.
Kata bodo inilah yang kemudian
diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi Lebaran, yang aslinya dari kata lebar
atau bar yang dalam bahasa jawa berarti sesudah atau selesai, sama dengan arti
bodo yang aslinya bakda (sesudah) dan bakdo.
Kata
yang lainnya, konon kata kupat berasal kependekan frasa "nyukupke kang
papat" (melengkapi empat hal), atau dari frasa "laku kang papat"
(melakukan empat hal), empat hal yang dimaksud yaitu, puasa ramadhan selama
sebulan, kemudian membayar zakat fitri, sholat Ied dan yang terakhir puasa enam
hari pada bulan syawal.
Sedangkan
yang lain mengatakan asli kata bodo berasal dari frasa "ngaku lepat"
atau "a kulepat' yang berarti mengakui kesalahan dan kekeliruan, hal
inilah yang kemudian mendasari tradisi saling memaafkan dan silaturrahim pada
waktu Idul Fitri.
3. Kondangan
Kondangan
adalah salah satu upacara atau ritual sebagai wujud syukur kepada tuhan dengan
doa. Kata kondangan berasal dari kata kaum diundang. Di kamus bahasa jawa, kata
lain dari kondangan adalah kendhuren, slametan, wilujengan dan sugengan, semua
kata tersebut mempunyai makna yang sama. Bentuk kondangan diantaranya kondangan
untuk memperingati kematian, kondangan kelahiran, kondangan pernikahan, kondangan
buka tahun dan tutup tahun, syawalan, suronan dan lain sebagainya.
Waktu
waktu peringatan kondangan di kematian adalah geblag (hari pertama kematian),
nelung dino (hari ketiga kematian), pitung dino (hari ketujuh kematian), patang
puluhan dino (hari keempat puluh kematian), nyatus (hari ke-seratus kematian),
mendak pisan (tahun pertama kematian), mendak pindho (tahun kedua kematian),
nyewu (hari ke-seribu kematian) dan kol-kolan (ritual tahunan setelah nyewu).
Di
samping sebagai wujud syukur terhadap Tuhan YME, ritual ini juga mempunyai
fungsi penting pada hubungan diantara sesama dan hubungan antara keluarga dan
mendiang.
Ritual kondangan terbentuk dari gabungan
dua agama dan kebudayaan, Hindu dan Islam. Sesajen berasal dari Hindu dan doa
doanya dari Islam. Meskipun demikian, upacara ini mempunyai nilai nilai
kebudayaan Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.
4. Melekan
'Tradisi
Melek' an Berasal dari bahasa jawa melek artinya tidak tidur, Tradisi melekan
ini bertujuan unutk meramaikan orang yang mempunyai hajat acara. Biasanya
tradisi melekaan ini dilakukan sebelum hari H dimulai. Tradisi melekan ini
dilakukakan pada melekan bayi dan pernikahan serta Sunatan. Para tetangga,
sanak saudara berkumpul bersama dating ke rumah orang yang punya hajat dengan
tujuan meramakan semalam suntuk.
Orang
yang melekan ini biasanya diramaikan dengan menonton video dangdut, ataupun permainan catur
(sekak).
5. Nyekar
Setiap bulan Suci Ramadhan datang
(jw:megengan), acap kita saksikan sejumlah orang memadati kuburan. Hingga
memacetkan jalanan dan terhambatnya laju puluhan bahkan ratusan kendaraan.
Umumnya
mereka yang hadir di sana adalah untuk nyekar, yakni menabur aneka bunga
(jw:sekar) di atas pusara keluarga atau kuburan orang yang dianggap alim dan
shalih/shalihah. Amalan tersebut dikenal dikalangan masyarakat dengan istilah
”nyekar”.
Tujuannya untuk menghormati keluarga
atau tokoh yang telah meninggal dunia, dan ada juga yang untuk meringankan
siksa yang sedang diderita oleh ahli kubur.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Sejarah
penamaan Desa Jepon, adanya Jepon sudah ada sebelum adanya zaman penjajahan
Jepang, namun pemberian nama “Jepon” diambil dari nama “Jepang Nipon” yang
diberikan oleh para penjajah Jepang. Jepang sudah lama berada di Jepon sehingga
masyarakat lebih suka menyebut daerah mereka dengan nama Jepon.
2. Seni
budaya yang ada di Desa Jepon yaitu seperti Seni Barongan, Seni Tayub,
Kadrohan/Terbangan, Kethoprak dan Kerawitan.
3. Tradisi
yang ada di daerah Jepon seperti sedekah bumi, melekan, kondangan, bodo kupat.
B. SARAN
Dengan
adanya seni budaya, sejarah dan tradisi di daerah Jepon, kita sebagai generasi
muda harus melestarikannya agar kebudayaan daerah kita tetap eksis dan tidak
punah oleh perkembangan zaman. Kita sebagai generasi muda masyarakat Jepon
khususnya adalah penerus, penjaga dan melestarikan kebudayaan dan sejarah Jepon.
Selain itu, harus didukung oleh sarana dan prasana baik dari masyarakat maupun
pemerintah daerah agar mempermudah generasi muda dalam mempelajarinya. Dengan
adanya tugas yang berjudul ETNOGRAFI
SENI BUDAYA DAN TRADISI DESA JEPON, KECAMATAN JEPON
akan
menumbuhkan semangat dan mencintai sejarah serta tradisi nenek moyang kita.
DAFTAR PUSTAKA
- responden ke kantor kelurahan jepon
-
http://www.blorakab.go.id/
- http://www.bloranews.com/5-kesenian-khas-kabupaten-blora/
- http://pritjohan.blogspot.com/2012/04/blora-sedikit-ringkasan.html
-
http://id.wikipedia.org/wiki/Ketoprak
-
http://museummahamerublora.blogspot.com/
-
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Blora)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar